Bismillah.

Pada kesempatan yang telah lalu telah kami tulis bagaimana hubungan islam dan software ilegal dan pada kesempatan ini kami akan enulis kembali hal tersebut untuk hal yang lebih global yaitu karya cipta yang tidak sebatas pada software saja karena karya cipta teknologi sejatinya adalah apa yang kita gunakan sehari-hari.

Sebagai permulaan maka kita perlu merinci apa itu karya cipta dan apa itu penggunaan karya cipta secara ilegal.

Apa Itu Karya Cipta?
Karya Cipta adalah setiap hasil olah kreatif seseorang yang menimbulkan manfaat bagi pribadinya sendiri ataupun orang banyak dan padanya terdapat hak yang diakui dan dilindungi oleh syariat Islam ataupun peraturan suatu wilayah dimana hak ini disebut sebagai hak cipta.

Apa Itu Hak Cipta?
Hak cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur, mengumumkan atau memperbanyak penggunaan hasil penuangan gagasan, hasil ciptaan atau informasi tertentu atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut peraturan yang berlaku.

Setelah mengetahui secara singkat apa itu karya cipta, lalu bagaimana hubungan Islam dengan penggunaan karya cipta secara ilegal? Dalam pembahasan ini kita akan mengambil rujukan dari fatwa ulama Indonesia yang tertuang dalam Fatwa MUI dan Fatwa Lajnah Da’imah (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).

Fatwa MUI
Fatwa MUI menyebutkan bahwa penggunaan karya cipta secara ilegal adalah haram. Hal ini tertuang dalam Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 Dzulqaidah 1423 bertepatan dengan 18 Januari 2003. Dalam menetapkan hal ini MUI berpegangan pada dalil Al Quran, Hadits, dan pendapat para ulama terdahulu. Diantara dalil-dalil tersebut sebagai berikut:

1. Firman Allah SWT tentang larangan memakan harta orang lain secara batil (tanpa hak) dan larangan merugikan harta‫‪maupun‬‬ ‫‪hak‬‬ ‫‪orang‬‬ ‫‪lain,‬‬ ‫‪antara‬‬ ‫‪lain:‬‬

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah 2:188)

“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;” (Q.S. Asy Syu’ara 26:183)

2. Hadits Nabi, antara lain:
“Hai para hamba-Ku! Sungguh Aku telah haramkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku jadikan kezaliman itu sebagai hal yang diharamkan di antaramu; maka, janganlah kamu saling menzalimi...” (H.R. Muslim)

“Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan (merugikan) orang lain.” (H.R. Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit)

3. Pendapat ulama terdahulu, antara lain:
“Mayoritas ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa hak cipta atas ciptaan yang orisinal dan manfaat tergolong harta berharga sebagaimana benda boleh dimanfaatkan secara syara’ (hukum Islam)” (Dr. Fathi al-Duraini, Haqq al-Ibtikar fi al-Fiqh al-Islami al-Muqaran, [Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1984], h.20)

Berkenaan dengan hak kepengarangan (Haqq al-ta’lif), salah satu hak cipta, Wahbah al-Zuhaili menegaskan: “Berdasarkan hal (bahwa hak kepengarangan adalah hak yang dilindungi oleh syara’ [hukum Islam] atas dasar qaidah istishlah) tersebut, mencetak men-copy buku (tanpa izin yang sah) dipandang sebagai pelanggaran atau kejahatan terhadap hak pengarang; dalam arti bahwa perbuatan tersebut adalah kemaksiatan yang menimbulkan dosa dalam pandangan Syara’ dan merupakan pencurian yang mengharuskan ganti rugi terhadap hak pengarang atas naskah yang dicetak secara melanggar dan zalim, serta menimbulkan kerugian moril yang menimpanya.” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998] juz 4, hl 2862).

Fatwa Lajnah Da’imah (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
Tidak berbeda dengan fatwa MUI fatwa Lajnah Da’imah juga tidak membolehkan hal tersebut. Hal ini tertunag pada fatwa nomor 18845 yang bunyinya kurang lebih sebagai berikut: “Tidaklah terlarang mengopi kaset-kaset yang bermanfaat lalu menjualnya. Demikian pula, tidaklah terlarang mengopi buku dan menjualnya. Mengingat hal tersebut membantu untuk tersebarnya ilmu. Ketentuan di atas berlaku selama pemegang hak tidak melarangnya. Jika mereka melarangnya, maka harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemilik hak. ”(Fatawa Lajnah Daimah: 13/187; Fatwa ini ditandatangani oleh Ibnu Baz, Abdul Aziz Alu Syekh, Abdullah Ghadayan, Shalih al-Fauzan, dan Bakr Abu Zaid.)

Dan fatwa nomor 18453 yang bunyinya kurang lebih sebagai berikut:
Pertanyaan, “Aku bekerja di bidang komputer. Sejak aku bekerja di bidang ini, aku mengopi berbagai program komputer untuk keperluan pekerjaan. Aku melakukan itu, tanpa membeli CD program yang asli. Perlu diketahui, bahwa di program ini dijumpai kalimat peringatan tentang larangan mengopi, sebagaimana ada kalimat ‘hak cetak dilindungi’ pada sebagian buku. Boleh jadi, pemilik program adalah seorang muslim atau pun seorang kafir. Pertanyaannya, apakah diperbolehkan mengopi program dengan cara semacam ini?”

Jawaban Lajnah Daimah, “Tidak diperbolehkan mengopi program-program yang pemiliknya melarang untuk mengopi kecuali dengan seizin mereka. Hal ini karena menimbang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), ‘Kaum muslimin itu mempunyai kewajiban untuk memenuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.’” (Hr. Abu Daud, no. 3594; dinilai shahih oleh al-Albani)

Demikian pula, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Tidaklah halal harta seorang muslim, melainkan dengan kerelaan hatinya.” (Hr. Ahmad, no. 20714. Menurut Syekh Syu’aib al-Arnauth, “Shahih li ghairihi.”)

Demikian pula, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Barangsiapa yang terlebih dahulu mendapatkan hal yang mubah, maka dialah yang lebih berhak atasnya.” (Hr. Abu Daud, no. 4694)

Ketentuan ini bersifat umum, baik pemilik program tersebut adalah seorang muslim atau kafir, asalkan bukan kafir harbi, karena hak orang kafir yang bukan harbi itu wajib dihormati sebagaimana seorang muslim.” (Fatawa Lajnah Daimah: 13/188, no. fatwa: 18453; Fatwa ini ditandatangani oleh Ibnu Baz, Abdul Aziz alu Syekh, Shalih al-Fauzan, dan Bakr Abu Zaid.)

Sebagai tambahan ada juga fatwa dari Syaikh Fauzan yang beliau tulis atau sampaikan audionya di website beliau dimana bunyinya kurang lebih sebagai berikut: Pertanyaan, “Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, ini ada pertanyaan dari Aljazair yang saudara penanya tersebut mengatakan: “Saya bekerja di bidang (software –pent) komputer bajakan yang pemilik hak ciptanya adalah Nashara, saya bekerja di bagian pengcopyan CD, sementara mereka tidak memperbolehkan untuk dicopy, tetapi kami mengcopynya untuk kepentingan menuntut ilmu?”

Jawaban: “Hal ini tidak boleh, karena ini termasuk hak mereka. Kita tidak boleh berbuat jahat terhadap mereka dan tidak boleh mengambil harta mereka. Kita tidak boleh mengambil harta mereka dengan dalih bahwa mereka adalah Nashara. Ini tidak boleh karena termasuk tindakan khianat. Ini termasuk hak mereka yang tidak boleh kita ambil selama mereka melarangnya. Itu merupakan hak mereka yang tidak boleh kita langgar walaupun dengan dalih untuk kepentingan dakwah. Tindakan seperti itu bukan termasuk dakwah, bahkan merupakan perbuatan yang mencoreng dakwah. Islam mengharamkan hal semacam ini, yaitu berbuat jahat terhadap harta manusia dan melanggar hak mereka, walaupun mereka adalah orang-orang kafir.”

Seperti itulah fatwa dari para ulama Islam terkait penggunaan karya cipta secara ilegal. Dengan begitu kita telah tahu apabila kita menggunakan karya cipta secara ilegal maka:

1. Tidak taat kepada pemerintah
Taat kepada pemerintah adalah salah satu prinsip Islam yang agung, namun seiring berkembangnya dunia baik dalam hal teknologi ataupun politik, prinsip ini menjadi bias. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah. Barang siapa memaksiatiku (melanggar sunnah/ajaran Nabi), sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Barang siapa menaati pemimpin, sungguh dia telah menaatiku. Barang siapa bermaksiat (tidak menaati) kepada pemimpin, sungguh dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. al-Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835. Redaksi hadits di atas adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil wajibnya menaati penguasa, dengan syarat dalam perkara yang bukan maksiat. Adapun hikmah dari perintah untuk menaati penguasa adalah terjaganya persatuan kaum muslimin. Sebab, dalam perpecahan terdapat (banyak) kerusakan.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 13/112)

Sayangnya dengan menggunakan karya cipta secara ilegal kita telah menjadi warga negara yang tidak taat kepada pemerintah karena telah melanggar peraturan pemerintah maupun perundang-undangan yang berlaku. Diantara peraturan dan perundang-undangan tersebut bisa anda temukan dan baca di situs web berikut https://www.dgip.go.id/peraturan-perundang-undangan-terkait-hak-cipta.

Lalu pertanyaan untuk diri kita yang saat ini masih bermudah-mudahan menggunakan karya cipta secara ilegal adalah apakah peraturan dan perundang-undangan yang dibuat pemerintah dengan tujuan mengarahkan masyarakat untuk menggunakan karya cipta secara legal termasuk dalam hal maksiat atau menyusahkan warganya? Jawabannya adalah tidak.

2. Ingkar janji dan tumbuhnya tanda-tanda kemunafikan
Menepati janji adalah salah satu syiar Islam yang agung, dengan siapapun kita membuat perjanjian sekalipun dengan orang-orang musyrikin selagi bukan dalam hal kemaksiatan. Diantara perintah menepati janji tertuang dalam firmanNya yaitu: “Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah, setelah diikrarkan.” (an-Nahl: 91)

Sebuah suri tauladan bagi kita dalam mentaati janji walaupun dengan orang-orang musyrikin adalah kisah perjanjian Rasulullah dengan orang-orang kafir (Ahlul Kitab dan musyrikin), tetap beliau shallallahu alaihi wa sallam jaga, hingga akkhirnya justru mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kamu dan mereka sedikit pun tidak mengurangi (isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seorang pun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (at-Taubah: 4)

Dahulu, Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu anhuma memiliki ikatan perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu ketika Muawiyah bermaksud menyerang mereka; dia memulai satu bulan lebih cepat (sebelum habis masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya dari negeri Romawi seraya berkata, “Penuhilah janji dan jangan berkhianat!”

Ternyata, dia adalah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Amr bin Absah. Muawiyah pun memanggilnya. Amr berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa memiliki perjanjian dengan suatu kaum, tidak halal baginya untuk melepasnya sampai berlalu masanya, atau ia mengembalikan perjanjian tersebut kepada mereka dengan cara yang jujur.’” Akhirnya, Muawiyah menarik diri dan pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman, no. 4049—4050; dan ash-Shahihah, 5/472, hadits no. 2357)

Kalau hal itu (menepati janji) saja bisa berlaku terhadap kaum musyrikin, terlebih terhadap kaum muslimin. Namun, jika perjanjian itu berupa maksiat, tentu janji tersebut tidak boleh ditunaikan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang dihalalkan atau menghalalkan perkara yang diharamkan.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 1352. Lihat Irwa’ul Ghalil, no. 1303)

Setelah mengetahui syariat diatas seharusnya bisa menjadi pengingat bagi kita bahwa dengan menggunakan software secara ilegal kita juga telah menjadi orang yang ingkar janji mengingat bahwa software ilegal adalah software yang digunakan dengan menyalahi perjanjian penggunaan. Selain itu menajdi pengingat juga bagi kita bahwa dengan melanggar perjanjian tumbuh dalam diri kita ciri-ciri kemunafikan dan tanda rusaknya hati.

“Tanda kemunafikan ada tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia ingkar; dan apabila dipercaya, ia justru berkhianat.” (HR. Muslim, “Kitabul Iman”, “Bab Khishalul Munafiq”, no. 107 dari jalur Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Selain tumbuh tanda kemunafikan dan tanda rusaknya hati melanggar perjanjian juga menjerumuskan kita ke dalam siksa. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Setiap pengkhianat akan memiliki bendera (yang akan ditancapkan) di pantatnya pada Hari Kiamat.” (HR. Muslim, “Bab Tahrimul Ghadr”, no. 1738 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu)

3. Zalim terhadap diri sendiri dan orang lain
Dua hal diatas bisa menjadi alasan bahwa dengan menggunakan karya cipta secara ilegal kita telah berbuat zalim terhadap diri kita sendiri karena membiarkan diri kita menggunakan sesuatau yang berasal dari pelanggaran sebuah perjanjian dan ketidaktaatan kepada pemerintah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Para ulama menerangkan, dengan berpatokan pada hadits di atas, bahwa kezaliman merupakan sebab kegelapan bagi pelakunya yang akan membuatnya tidak bisa lagi menentukan arah/jalan yang akan dituju pada Hari Kiamat; atau bisa juga ia akan menjadi sebab kesempitan dan kesulitan bagi pelakunya. (Syarhu Shahih Muslim, 16/350; Tuhfatul Ahwadzi, “Kitab al-Birr wa Shilah an Rasulillah”, “Bab Ma Ja`a fiz Zhulum”)

Selain menzalimi diri sendiri dengan menggunakan karya cipta secara ilegal kita juga telah menzalimi orang lain. Diantara orang lain itu adalah orang-orang yang kita cintai, keluarga yang kita beri nafkah dengan menggunakan karya cipta ilegal tersebut misalnya.

4. Pemerintah adalah cerminan rakyat
Sebagai warga dari sebuah negara pasti kita menginginkan untuk memiliki pemerintah yang adil, jujur, dan amanah terhadap tanggung jawabnya sebagai pemerintah. Namun akankah keinginan tersebut bisa terwujud selagi masih terdapat keburukan pada diri kita, salah satunya adalah dengan menggunakan software secara ilegal. Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan. Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.” (Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178)

Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar Ra’du [13] : 11)

Alhamdulillah, terang sudah permasahalan ini. Semoga hal-hal yang disampaikan tadi menjadi pengingat dan menyadarkan diri kita agar berhati-hati dalam menggunakan setiap karya cipta baik berupa gambar, audio, video, program komputer, karya tulis, dan sebagainya karena semua itu akan kita pertanggung jawabkan kelak.

Sebagai penutup, ada satu faidah yang ingin kami sampaikan terkait hukum mempelajari perkara atau ilmu dunia (sains). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullahu Ta’ala- pernah ditanya, “Apakah (mempelajari) ilmu seperti ilmu kedokteran dan industri termasuk tafaqquh fid diin (mempelajari agama Allah Ta’ala, pen.)?”

Beliau -rahimahullahu Ta’ala- menjawab, “Ilmu-ilmu tersebut tidaklah termasuk dalam ilmu agama (tafaqquh fid diin). Karena dalam ilmu-ilmu tersebut tidaklah dipelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, ilmu tersebut termasuk dalam ilmu yang dibutuhkan oleh umat Islam.

Oleh karena itu, sebagian ulama berkata,’Sesungguhnya mempelajari ilmu industri (teknologi), kedokteran, teknik, geologi, dan semisal itu, termasuk dalam fardhu kifayah. Bukan karena ilmu-ilmu tersebut termasuk dalam ilmu syar’i (ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, pen.), akan tetapi karena tidaklah maslahat bagi umat (Islam) ini bisa terwujud kecuali dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut.

Oleh karena itu, aku ingatkan kepada saudara-saudaraku yang sedang mempelajari ilmu-ilmu tersebut agar mereka niatkan untuk dapat memberikan manfaat bagi kaum muslimin dan meningkatkan (derajat) umat Islam.” [Kitaabul ‘Ilmi, 1/125 (Maktabah Syamilah)]

Di tempat yang lain, beliau -rahimahullahu Ta’ala- berkata, “Dan sunguh banyak ulama telah menyebutkan bahwa mempelajari ilmu industri (teknologi) termasuk fardhu kifayah. Hal ini karena manusia harus (tidak boleh tidak) memiliki ilmu tersebut untuk dapat memasak (menyiapkan makanan, pen.), minum, atau perkara-perkara lainnya yang dibutuhkan. Jika tidak ditemukan orang yang menekuni ilmu tersebut, maka hukum mempelajarinya menjadi fardhu kifayah.” [Kitaabul ‘Ilmi, 1/2 (Maktabah Syamilah)]

Apa yang dimaksud dengan fardhu (wajib) kifayah? Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala- berkata, “(Yang dimaksud dengan) fardhu kifayah, (yaitu) jika sejumlah orang dalam jumlah yang mencukup telah melaksanakan kewajiban tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Jika tidak ada satu pun orang yang melaksanakannya, maka semua orang yang memiliki kemampuan (untuk melaksanakan kewajiban tersebut, pen.) menjadi berdosa.” [Al-Qawaa’id wal Ushuul Al-Jaami’ah, hal. 39 (cet. Maktabah As-Sunnah)]

Kesimpulannya, hukum mempelajari ilmu duniawi (sains) sangat tergantung pada tujuan, apakah untuk tujuan kebaikan atau tujuan yang buruk. [Kitaabul ‘Ilmi, 1/2 (Maktabah Syamilah)]

Oleh karena itu, ketika ilmu duniawi menjadi sarana untuk menegakkan kewajiban dalam agama, maka hukum mempelajari ilmu tersebut juga wajib. Dan ketika menjadi sarana untuk menegakkan perkara yang hukumnya sunnah dalam agama, maka hukum mempelajarinya juga sunnah. Hal ini dilakukan diantaranya agar kita juga terhindar dari perkara syubhat yang bisa menghantarkan kita pada perkara yang haram sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim.

Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati.’” (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Barakallahu fiikum.

Referensi:

Artikel ini dibawah naungan Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License [https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/].